Sabtu, 24 Mei 2025

"Biru Laut": Bab I dari Laut Bercerita

 



Biru Laut – Nama, Lautan, dan Sebuah Perlawanan

Setelah prolog yang penuh luka dan gelap, kita diajak kembali ke masa yang lebih awal. Masa ketika semuanya belum sekelam itu. Saat Laut—atau Biru Laut—masih bisa tertawa bersama kawan-kawannya, membangun mimpi, menyusun strategi, dan percaya bahwa perubahan itu mungkin. Di sinilah kisahnya benar-benar dimulai.

Nama Biru Laut bukan cuma indah, tapi juga penuh makna. Ia adalah anak muda biasa yang berubah jadi simbol. Di bagian ini, kita diajak mengenal siapa dia sebenarnya: teman, anak, saudara, sekaligus aktivis. Kita akan lihat bagaimana idealisme tumbuh dari obrolan kecil di warung makan, dari diskusi di rumah reyot yang dijuluki “rumah hantu”, dan dari cinta yang diam-diam menyala di sela perlawanan.

Yuk Sahabatt, kita mulai bab Biru Laut. Karena dari sinilah cerita itu benar-benar mulai bergejolak.

Biru Laut — "Di Mana Semua Cerita Dimulai"

Akuu masih inget perasaan pertama kali baca bagian ini. Rasanya tuu kayak balik ke masa sebelum semuanya runtuh. Sebelum penyiksaan, sebelum laut jadi tempat yang menelan tubuh tanpa nama. Di bab ini, kita diajak kenal lebih dekat sama Biru Laut—bukan cuma tokoh utama, tapi juga jiwa yang jadi pusat dari semuanya.

Biru Laut bukan pahlawan dengan jubah. Dia ituu mahasiswa biasa. Punya sahabat, punya adik yang bawel, dan sesekali masih debat receh soal rumah sewaan yang katanya "berhantuuu". Tapi justru dari hal-hal yang sederhana itu, kita pelan-pelan ngerti: perjuangan nggak selalu lahir dari tempat megah. Kadang dari rumah reyot di pojok Yogyakarta, dari tumpukan fotokopi buku Pramoedya, dari warung makan sederhana tempat ide-ide besar dilahap bareng nasi dan sambal.

Aku tuu suka banget bagian ini karena hangattt gituu. Ada tawa, ada obrolan, ada aroma masa muda yang belum dicemari trauma. Tapi justru karena itu, bagian ini juga bikin nyesek. Karena kita tahu ke mana arah cerita ini akan pergi.

Jadi, mari kita duduk bareng-bareng lagi. Kita mulai dari sini. Dari Seyegan (hal 10), 1991. Dari pintu kayu jati yang diketuk pelan oleh jari-jari sahabat. Dari tempat di mana semua ini dimulai: Biru Laut.

Aku selalu percaya, sebelum seseorang jadi simbol perlawanan, dia pasti pernah jadi manusia biasa yang cuma pengen hidup tenang. Itu yang gue rasain waktu masuk ke bagian ini. Laut masih jadi mahasiswa biasa yang lagi cari rumah kontrakan bareng kawan-kawan. Bukan rumah ideal, tapi rumah reyot yang dikasih julukan "rumah hantuuu". Dan lucunya, di tengah obrolan soal tembok kotor, jendela pecah, dan toilet bau pesing, mereka malah nemu semacam harapan.

Di rumah itu, obrolan soal masa depan bangsa dicampur sama gerutuan Daniel yang nggak tahan sama nyamuk. Idealisme dan canda tumpah di tempat yang sama. Dan di situlah Aku tuu ngerasa dekettt banget sama tokoh utamaa si Laut. Dia tuu bukan tokoh yang jauh atau terlalu sempurna. Dia tuu bisa kesel, bisa bingung, bisa takut. Tapi dia juga punya satu hal yang kuat yaitu "keinginan untuk ngerti dunia, untuk ngerti kenapa hidup ini bisa sebegitu

timpangnya".

Dan yang paling ngena: pertemuannya sama Kinan.

Kalian pasti pernah nemu seseorang yang sekali kalian kenal, tapii kaliantuu langsung kek dibikinn dunia lo kayak kebukak satu level baru. Nah Gitu juga Laut waktu ketemu Kinan. Cewek yang tegas, nyambung, berani, dan… ya, rakus makan sambal. Hahaha... Tapi juga satu-satunya orang yang bikin Laut mikir lebih jauh tentang apa arti jadi muda di negara yang penuh represi.

Nah Dari sana, cerita mulai bergerak. Bukan cuma soal rumah kontrakan dan diskusi buku, tapi soal langkah-langkah kecil menuju sesuatu yang jauh lebih besar dan berat. Tentang keberanian yang awalnya cuma dibisikkan, tapi akhirnya jadi suara.

Dan jujur aja, waktu baca bagian ini, gue jadi mikir: kalau gue hidup di zaman itu, "sanggup nggak ya, berdiri bareng mereka?".

Setelah Kinan, datanglah Bram.

Bram ini beda. Nggak banyak ngomong, tapi sekali dia buka suara, kata-katanya kayak punya gravitasi sendiri. Gue inget banget kesan pertama Laut waktu dikenalin ke Bram: tinggi, kurus, berkacamata, rambut ikal rapi — lebih mirip kutu buku daripada pemimpin gerakan mahasiswa. Tapi dari situ justru gue jadi makin percaya, orang-orang yang ngebakar dunia kadang justru datang dengan kepala tertunduk dan suara pelan.

Obrolan mereka sore itu... dalem banget.

Bram cerita tentang masa kecilnya, tentang "seorang perempuan tua bernama Mbah Mien yang akhirnya gantung diri karena lilitan utang". Dan dari situ, dia bilang, dua hal yang paling menghantui orang miskin di negeri ini adalah "kemiskinan dan kematian".

Kalimat itu nyangkut banget di kepala gue.

Kalian pernah nggak, denger seseorang cerita hal yang sangat personal, sangat menyakitkan, tapi disampaikan dengan tenang dan jernih? Itu rasanya kayak... lo ikut "ngerasain luka itu tanpa harus ngalamin langsung". Itu yang Aku rasain waktu baca bagian ini. Dan buat Laut, dan mungkin buat banyak dari kita juga itu momen yang bikin kita sadar, ternyata "dunia ini nggak cuma butuh orang pintar, tapi juga orang yang berani ngelawan ketidakadilan dari akarnya".

Yang paling akuu suka dari Bram inii adalah caranya ngasih perspektif baru tanpa merasa lebih tahu. Dia nggak maksa Laut buat gabung. Tapi dia nunjukin bahwa hidup itu pilihan. "kita bisa duduk diam dan berharap keadaan berubah sendiri, atau kitaa bisa berdiri  meski goyah dan mulai jalan bareng orang-orang yang nggak rela diam."

Dan perlahan, dari percakapan itu, Laut mulai melangkah. Bukan karena dipaksa, tapi karena hatinya mulai tergerak. Karena dia mulai sadar bahwa ada luka yang nggak bisa sembuh kalau cuma diobati dengan diam. Ada sejarah yang nggak akan pernah ditulis kalau nggak ada yang berani menyuarakannya!!!.


Aku tahu ini baru awal, tapi di titik ini, Laut udah bukan cuma anak muda biasa. Dia udah mulai masuk ke cerita besar yang akan mengubah hidupnya dan hidup banyak orang lainnya.

Kalau kalian udah siapp, nanti kita lanjut ke cerita tentang “rumah hantuuu” yang jadi markas. Tentang bagaimana dari tempat yang katanya angker itu, lahir gerakan yang bikin penguasa gemetar. Cerita ini makin panas. hehehee...

Apakah sahabatt Siappp...?

JANGAN KEMANA-MANAA YAA!!! 

SeeYouu NextTiimee...!!!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Kita Gak Bisa Lagi Cuma Diam: Kekerasan Seksual di Pesantren Bukan Tabu untuk Dibahas"

  "Kita Gak Bisa Lagi Cuma Diam: Kekerasan Seksual di Pesantren Bukan Tabu untuk Dibahas" Haloo Sahabatt...Akhir-akhir ini ramai ...