Minggu, 25 Mei 2025

"Disekap, Disiksa, Dihilangkan" : Akhir Cerita Bab I

 

Disekap, Disiksa, Dihilangkan

Setelah pertemuan Laut dengan Bram, segalanya berubah pelan-pelan. Dari yang awalnya cuma ikut diskusi, Laut mulai benar-benar tenggelam ke dalam gerakan. Dan semua itu dimulai dari “rumah hantuuu” — rumah reyot di tengah kebun Desa Pete, yang kemudian mereka sulap jadi markas rahasia.

Rumah itu saksi banyak hal: obrolan, rencana, tawa, dan ketakutan. Mereka berdiskusi soal petani, buruh, dan rakyat kecil yang makin ditekan. Mereka ngebahas buku-buku “terlarang” yang nggak bisa ditemuin di toko buku biasa. Dan di balik semua itu, tersimpan rasa: antara Laut dan Kinan. Diam-diam, halus, tapi terasa.

Yang gue suka, di tengah keseriusan gerakan, novel ini tetap nunjukin sisi manusiawi mereka. Laut masih mikirin adiknya, Asmara, yang cerewet tapi perhatian. Mereka masih bisa bercanda, berdebat soal jendela bocor, atau sambal terenak di warung langganan. Justru dari sana gue ngerti, orang-orang yang kelihatan “radikal” itu sebenernya cuma orang biasa, yang terlalu peduli sama keadilan.

Salah satu bagian yang paling nyentuh buat gue adalah waktu Laut cerita soal guru SD-nya, Bu Ami, yang tiba-tiba hilang karena diduga punya kaitan dengan korban 65. Dari situ Laut mulai paham, bahwa sejarah yang selama ini dia pelajari di sekolah, nggak utuh. Banyak yang disembunyikan. Banyak yang dibungkam.

Dan itu jadi pemantik buat pertanyaan-pertanyaan yang lebih besar:

"Kenapa ada orang yang tiba-tiba hilang?"
"Kenapa buku harus dilarang?"
"Kenapa rasa takut harus diwariskan dari generasi ke generasi?"


Di bab Biru Laut ini, kita belum masuk ke tragedinya. Tapi justru di sini, kita diajak untuk peduli. Supaya nanti, waktu semuanya mulai runtuh, kita udah punya cukup alasan untuk ikut marah. Dan ikut kehilangan.

Selanjutnya kita bakal mulai masuk ke masa-masa yang lebih genting — waktu gerakan mereka makin besar, dan negara mulai merasa terancam. Di situlah cerita Laut Bercerita berubah dari sekadar kisah anak muda, jadi potret luka sejarah yang sesungguhnya.

Saat Satu per Satu Menghilang

Di titik ini, idealisme bukan lagi soal diskusi larut malam atau fotokopi buku Pram diam-diam di kios Mas Yunus. Gerakan mereka mulai dianggap ancaman. Nama-nama mulai diawasi. Aktivitas dicatat. Dan seperti yang udah sering terjadi di sejarah negeri ini: orang-orang yang bicara terlalu lantang… mulai menghilang.

Sunu ditangkap lebih dulu. Disusul Alex. Lalu satu per satu kawan-kawan Laut, yang dulu duduk di “rumah hantu” sambil menyuap nasi urap, nggak pernah pulang.

Laut mencoba tetap waras. Tapi dari setiap berita hilangnya kawan, dia tahu: giliran dia cuma tinggal menunggu waktu.

Dan benar, pada akhirnya Laut juga dijemput.


Disekap, Disiksa, Dihilangkan

Bagian ini, jujur aja, bikin gue ngilu. Karena diceritain dari sudut pandang Laut langsung. Gimana dia diculik, dibawa dengan mata tertutup, dipenjara dalam gelap berbulan-bulan. Gimana tubuhnya remuk, tapi pikirannya masih berusaha bertahan.

Yang bikin paling sakit bukan cuma kekerasan fisik yang dia terima, tapi kesendirian yang panjang. Di sana, nggak ada nama. Nggak ada penjelasan. Nggak ada pengadilan. Yang ada cuma tubuh yang dipukuli, mental yang dipatahkan, dan suara ombak yang makin lama makin dekat.

Sampai akhirnya, Laut tahu: dia bukan lagi ditahan, tapi dibawa untuk dihabisi.

Di bagian paling menyayat, dia dibawa ke tebing. Tangan dan kakinya diikat pemberat besi. Dibentak. Didorong. Ditembak. Dan akhirnya dilempar ke laut.

Itu momen di mana dia tahu: "dia akan hilang. Tapi justru di situ, dia mulai bercerita."


“Bapak, Ibu, Asmara… dengarkan ceritaku.”

Kalimat terakhir sebelum tubuhnya ditelan laut, adalah permintaan sederhana:
“Dengarkan ceritaku.”

Dan di sinilah makna sebenarnya dari judul Laut Bercerita muncul.
Karena meski tubuhnya hilang, suaranya tetap ada. Karena ingatan adalah bentuk perlawanan yang nggak bisa dipenjara.

Cerita Laut bukan sekadar fiksi. Dia mewakili ratusan, bahkan ribuan anak muda yang beneran pernah dihilangkan karena berani bertanya, karena berani menulis, karena berani percaya bahwa negeri ini bisa lebih adil.


Gue akan tutup bagian ini dengan satu kalimat yang selalu bikin gue merinding:

"Mati itu mudah. Tapi tetap hidup di ingatan orang-orang yang mencintaimu... itu yang bikin penguasa ketakutan."

Suara yang Tak Pernah Hilang

Setelah menelusuri halaman demi halaman, gue sadar: Laut Bercerita bukan cuma kisah tentang Laut, tapi tentang kita. Tentang sejarah yang nggak pernah benar-benar ditulis di buku pelajaran. Tentang luka yang diwariskan diam-diam dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Biru Laut adalah simbol. Ia bukan manusia super. Dia cuma anak muda biasa yang suka nulis, suka makan sambal, punya adik bawel, dan pengen negaranya lebih adil. Tapi justru karena “biasa” itulah dia jadi dekat. Karena kita pun bisa ada di posisi itu. Bisa jadi Laut. Atau Asmara. Atau salah satu teman yang hilang tanpa kabar.

Novel ini mengajarkan gue bahwa melawan itu nggak selalu harus bawa senjata. Kadang cukup dengan cerita. Dengan ingatan. Dengan keberanian untuk nggak melupakan.

Karena seperti kata Laut:

"Bapak, Ibu, Asmara… dengarkan ceritaku."

Dan gue rasa, itulah tugas kita sekarang: "mendengarkan".
Karena kalau kita berhenti dengar, berhenti peduli, maka mereka yang dihilangkan benar-benar akan hilang—bukan cuma dari dunia, tapi juga dari sejarah.

Mereka sudah dibungkam. Tapi kita masih punya suara.
Dan selama masih ada yang bercerita, laut itu tak akan pernah benar-benar diam.

Nah Sahabatt Kita lanjut nanti ke Bab II bagian Asmara Jati—adik Laut, yang bertahun-tahun kemudian berusaha mencari jejak sang kakak, dari pantai-pantai sunyi sampai gedung istana yang penuh penjagaan.

Cerita belum selesai. Karena meski Laut sudah hilang, suara itu terus mengalun.

Kita masih akan dengar laut bercerita.

Okeyy Sahabatt... Seeyouu NextTimee!!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Kita Gak Bisa Lagi Cuma Diam: Kekerasan Seksual di Pesantren Bukan Tabu untuk Dibahas"

  "Kita Gak Bisa Lagi Cuma Diam: Kekerasan Seksual di Pesantren Bukan Tabu untuk Dibahas" Haloo Sahabatt...Akhir-akhir ini ramai ...