Senin, 26 Mei 2025

"Kita Gak Bisa Lagi Cuma Diam: Kekerasan Seksual di Pesantren Bukan Tabu untuk Dibahas"

 


"Kita Gak Bisa Lagi Cuma Diam: Kekerasan Seksual di Pesantren Bukan Tabu untuk Dibahas"

Haloo Sahabatt...Akhir-akhir ini ramai banget kann yaa berita tentang Isuu dan kasuss kekerasan seksual yang terjadi di sebuah "pesantren" di Pulau yg katanyaa "Seribu Masjid".Dan kalo bolehh jujurr yaa Aku sendirii Traumaa Kalo membahas Topik inii Rasanyaa tuu kekk Mirisss, marahhh, sedihhh, haaaa!!! Pokoknyaa semua  ituu campur adukk jadi satuu!!!. itu yang bikinn aku pribadii mau ndaa mauu SpeakUpp terhadap Kasuss Inii. 

Tempat yang seharusnya jadi ruang belajar dan ibadah, malah berubah jadi tempat yang meninggalkan trauma buat santriwatinyaa.

Kasus ini bukan cuma soal satu orang pelaku, tapi soal kepercayaan. Kepercayaan yang disalahgunakan. Apalagi pelakunya disebut-sebut orang terpandang, punya pengaruh, dan dihormati. Jadi gak heran banyak korban bingung harus ngapain.


 "Cuma Oknum?" – Gak Sesimpel Itu!!!

Banyak orang mungkin langsung nyebut, “Itu ulah oknum, jangan digeneralisir.”
Tapi pertanyaannya: kenapa kasus kayak gini sering banget terjadi di tempat yang seharusnya aman?
Ini bukan kejadian pertama. Bukan yang kedua. Dan bisa aja bukan yang terakhir, kalau kita cuma anggap ini kesalahan individu tanpa ngebedah sistem yang menutup-nutupi.

Salah satu potongan dialog dari korban katanya gini:

“Setiap aku mau ngomong, malah disuruh sabar. Disuruh jaga nama baik pondok.
Tapi siapa yang jaga aku?”

Dingin ya, dengernya? Tapi itulah realitanya. Korban sering banget disuruh diam, dibilang fitnah, bahkan dituduh menghancurkan nama baik lembaga. Padahal yang hancur itu justru kepercayaan publik—kepercayaan kita semuaaa!!!.


 Sistem Tertutup = Korban Takut Bersuara

Struktur di banyak pesantren itu hierarkis. Santri tunduk pada guru, guru tunduk pada kyai. Kalau ada yang nyimpang, apalagi dari “atas”, siapa yang berani melawan?

“Kalau aku lapor, aku takut dikeluarin. Gimana kalau orang tuaku malah nyalahin aku?”

Ini bukan soal kurang iman atau kurang sabar. Ini soal gak adanya ruang aman untuk bicara. Kita perlu tanya: "apakah lembaga-lembaga pendidikan kita, apalagi yang berbasis agama, sudah siap punya SOP perlindungan terhadap santri?"

Dan ini bukan buat nyerang pesantren. Justru ini bentuk cinta. Supaya gak ada lagi anak perempuan (atau laki-laki) yang pulang bawa trauma, bukan ilmu!!!.


“Tapi Jangan Semua Pesantren Disamaratakan Dong…”

Iyaa, betull sahabatt. Kita juga harus adil. Banyak banget pesantren yang benar-benar mendidik santri dengan nilai-nilai luhur, membangun karakter, dan memperkuat akhlak. Guru-gurunya tulus. Kyai-nya rendah hati. Santri-nya tumbuh dengan ilmu dan iman.

“Pesantren itu tempat aku menemukan arah hidup, bukan luka.”

Nahh Makanya kita harus hati-hati!!!. Kasus kayak gini gak bisa dijadikan alasan buat menyudutkan semua lembaga agama. Tapi kita juga gak boleh menjadikan lembaga agama sebagai tameng untuk pelaku kejahatan. Dua hal itu bisa berjalan beriringan: membela pesantren yang baik, dan tetap menuntut keadilan untuk korban.

Minggu, 25 Mei 2025

"Ngomongin Patriarki: Emang Salah atau Cuma Salah Paham?"

 


"Ngomongin Patriarki: Emang Salah atau Cuma Salah Paham?"

“Haii Sahabatt,...hihiihii   Topik kalii inii Agak bedaa yaa, tapi sebelum kamu buru-buru bilang ‘patriarki itu salah total’ atau malah ini cuma tradisi aja, biasa aja, yuk kita pelan-pelan ngobrol. Topik ini agak sensitif, tapi menarik banget buat dibahas dari dua sisi. Siapa tahu, setelah ini kamu jadi mikir ulang—atau malah makin yakin sama pendirianmu. Yuk, kita bahas bareng.”

Pandangan 1: Patriarki Itu Masalah Serius

Coba lihat deh, sampai sekarang masih banyak perempuan yang harus kerja ekstra keras cuma buat dapat pengakuan yang sama kayak laki-laki. Di kantor, ide perempuan bisa aja dicuekin… tapi pas laki-laki ngomong hal yang sama, langsung dianggap jenius.

Patriarki itu bukan sekadar laki-laki berkuasa. Ini soal sistem yang bikin perempuan harus selalu "ngalah", seakan-akan lahir dengan label "nomor dua". Padahal kapasitas dan potensi nggak ada hubungannya sama jenis kelamin.

Contoh ekstremnya bisa kita lihat di zaman Nabi Muhammad ﷺ. Dulu, di masyarakat Arab pra-Islam, ada kebiasaan yang bikin merinding: bayi perempuan dikubur hidup-hidup karena dianggap aib. Serius, ini bukan dongeng yaa sahabatt.

Terus Allah langsung turun tangan dengan wahyu:

“Dan apabila bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?
(QS. At-Takwir: 8–9)

Bayangin situasinya...

“Ya Rasulullah,” kata salah satu sahabat perempuan, matanya berkaca-kaca. “Aku pernah membunuh anak perempuanku waktu Jahiliyah dulu…”

Nabi terdiam. Matanya menunduk. Lalu dengan suara pelan tapi tegas, beliau berkata, “Islam telah menghapus dosa masa lalu. Tapi jangan pernah lagi manusia diperlakukan seperti itu.”

Dari situ kelihatan banget, Nabi menentang keras sistem yang merendahkan perempuan. Artinya, kritik terhadap patriarki itu bukan hal baru. Bahkan sejak 1400 tahun lalu, udah ada yang berdiri melawan.


Pandangan 2: Patriarki Itu Produk Budaya, Bukan Musuh

Hehehe...Tapi tunggu dulu yaa sahabatt... Nggak semua bentuk patriarki harus langsung disikat habiss. Ada juga sisi lain yang layak dilihat sebagai bagian dari sejarah dan konteks budaya.

Nah duluu yaa Di masa lampauuu, struktur masyarakat itu dibentuk berdasarkan kondisi yang sangat berbeda. Laki-laki dominan karena mereka yang turun ke medan perang, berburu, berdagang jauh-jauh—sementara perempuan sering kali jadi penjaga rumah, anak, dan keluarga. Bukan karena dianggap lemah, tapi karena pembagian peran itu dianggap paling masuk akal pada zaman itu.

Aku kasii Contohnyaa yaa? kita bisaa Lihat aja kisah dari Khawlah binti Tha’labah. Dia perempuan biasa, tapi berani banget datang ke Nabi Muhammad ﷺ buat protes soal perlakuan suaminya. Suaminya main zihar—semacam talak kasar yang nyakitin secara mental.

“Ya Rasulullah, suamiku menyamakanku dengan ibunya! Apakah aku bukan istrinya lagi?”

 Nabi diam sejenak, lalu turun wahyu:

"Sungguh, Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengajukan gugatan terhadap suaminya dan mengadukannya kepada Allah..." (QS. Al-Mujadilah: 1)

Keren kan sahabatt ??? hihiii... Di zaman yang super patriarkis pun, perempuan bisa bersuara dan dibela langsung oleh wahyu. Ini nunjukin bahwa sistem yang ada bisa dilawan dan diubah, tanpa harus menghancurkan semuanya. Kadang, yang dibutuhin bukan revolusi total, tapi transformasi yang adil.

"Disekap, Disiksa, Dihilangkan" : Akhir Cerita Bab I

 

Disekap, Disiksa, Dihilangkan

Setelah pertemuan Laut dengan Bram, segalanya berubah pelan-pelan. Dari yang awalnya cuma ikut diskusi, Laut mulai benar-benar tenggelam ke dalam gerakan. Dan semua itu dimulai dari “rumah hantuuu” — rumah reyot di tengah kebun Desa Pete, yang kemudian mereka sulap jadi markas rahasia.

Rumah itu saksi banyak hal: obrolan, rencana, tawa, dan ketakutan. Mereka berdiskusi soal petani, buruh, dan rakyat kecil yang makin ditekan. Mereka ngebahas buku-buku “terlarang” yang nggak bisa ditemuin di toko buku biasa. Dan di balik semua itu, tersimpan rasa: antara Laut dan Kinan. Diam-diam, halus, tapi terasa.

Yang gue suka, di tengah keseriusan gerakan, novel ini tetap nunjukin sisi manusiawi mereka. Laut masih mikirin adiknya, Asmara, yang cerewet tapi perhatian. Mereka masih bisa bercanda, berdebat soal jendela bocor, atau sambal terenak di warung langganan. Justru dari sana gue ngerti, orang-orang yang kelihatan “radikal” itu sebenernya cuma orang biasa, yang terlalu peduli sama keadilan.

Salah satu bagian yang paling nyentuh buat gue adalah waktu Laut cerita soal guru SD-nya, Bu Ami, yang tiba-tiba hilang karena diduga punya kaitan dengan korban 65. Dari situ Laut mulai paham, bahwa sejarah yang selama ini dia pelajari di sekolah, nggak utuh. Banyak yang disembunyikan. Banyak yang dibungkam.

Dan itu jadi pemantik buat pertanyaan-pertanyaan yang lebih besar:

"Kenapa ada orang yang tiba-tiba hilang?"
"Kenapa buku harus dilarang?"
"Kenapa rasa takut harus diwariskan dari generasi ke generasi?"


Di bab Biru Laut ini, kita belum masuk ke tragedinya. Tapi justru di sini, kita diajak untuk peduli. Supaya nanti, waktu semuanya mulai runtuh, kita udah punya cukup alasan untuk ikut marah. Dan ikut kehilangan.

Selanjutnya kita bakal mulai masuk ke masa-masa yang lebih genting — waktu gerakan mereka makin besar, dan negara mulai merasa terancam. Di situlah cerita Laut Bercerita berubah dari sekadar kisah anak muda, jadi potret luka sejarah yang sesungguhnya.

Saat Satu per Satu Menghilang

Di titik ini, idealisme bukan lagi soal diskusi larut malam atau fotokopi buku Pram diam-diam di kios Mas Yunus. Gerakan mereka mulai dianggap ancaman. Nama-nama mulai diawasi. Aktivitas dicatat. Dan seperti yang udah sering terjadi di sejarah negeri ini: orang-orang yang bicara terlalu lantang… mulai menghilang.

Sunu ditangkap lebih dulu. Disusul Alex. Lalu satu per satu kawan-kawan Laut, yang dulu duduk di “rumah hantu” sambil menyuap nasi urap, nggak pernah pulang.

Laut mencoba tetap waras. Tapi dari setiap berita hilangnya kawan, dia tahu: giliran dia cuma tinggal menunggu waktu.

Dan benar, pada akhirnya Laut juga dijemput.


Disekap, Disiksa, Dihilangkan

Bagian ini, jujur aja, bikin gue ngilu. Karena diceritain dari sudut pandang Laut langsung. Gimana dia diculik, dibawa dengan mata tertutup, dipenjara dalam gelap berbulan-bulan. Gimana tubuhnya remuk, tapi pikirannya masih berusaha bertahan.

Yang bikin paling sakit bukan cuma kekerasan fisik yang dia terima, tapi kesendirian yang panjang. Di sana, nggak ada nama. Nggak ada penjelasan. Nggak ada pengadilan. Yang ada cuma tubuh yang dipukuli, mental yang dipatahkan, dan suara ombak yang makin lama makin dekat.

Sampai akhirnya, Laut tahu: dia bukan lagi ditahan, tapi dibawa untuk dihabisi.

Di bagian paling menyayat, dia dibawa ke tebing. Tangan dan kakinya diikat pemberat besi. Dibentak. Didorong. Ditembak. Dan akhirnya dilempar ke laut.

Itu momen di mana dia tahu: "dia akan hilang. Tapi justru di situ, dia mulai bercerita."


“Bapak, Ibu, Asmara… dengarkan ceritaku.”

Kalimat terakhir sebelum tubuhnya ditelan laut, adalah permintaan sederhana:
“Dengarkan ceritaku.”

Dan di sinilah makna sebenarnya dari judul Laut Bercerita muncul.
Karena meski tubuhnya hilang, suaranya tetap ada. Karena ingatan adalah bentuk perlawanan yang nggak bisa dipenjara.

Cerita Laut bukan sekadar fiksi. Dia mewakili ratusan, bahkan ribuan anak muda yang beneran pernah dihilangkan karena berani bertanya, karena berani menulis, karena berani percaya bahwa negeri ini bisa lebih adil.


Gue akan tutup bagian ini dengan satu kalimat yang selalu bikin gue merinding:

"Mati itu mudah. Tapi tetap hidup di ingatan orang-orang yang mencintaimu... itu yang bikin penguasa ketakutan."

Suara yang Tak Pernah Hilang

Setelah menelusuri halaman demi halaman, gue sadar: Laut Bercerita bukan cuma kisah tentang Laut, tapi tentang kita. Tentang sejarah yang nggak pernah benar-benar ditulis di buku pelajaran. Tentang luka yang diwariskan diam-diam dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Biru Laut adalah simbol. Ia bukan manusia super. Dia cuma anak muda biasa yang suka nulis, suka makan sambal, punya adik bawel, dan pengen negaranya lebih adil. Tapi justru karena “biasa” itulah dia jadi dekat. Karena kita pun bisa ada di posisi itu. Bisa jadi Laut. Atau Asmara. Atau salah satu teman yang hilang tanpa kabar.

Novel ini mengajarkan gue bahwa melawan itu nggak selalu harus bawa senjata. Kadang cukup dengan cerita. Dengan ingatan. Dengan keberanian untuk nggak melupakan.

Karena seperti kata Laut:

"Bapak, Ibu, Asmara… dengarkan ceritaku."

Dan gue rasa, itulah tugas kita sekarang: "mendengarkan".
Karena kalau kita berhenti dengar, berhenti peduli, maka mereka yang dihilangkan benar-benar akan hilang—bukan cuma dari dunia, tapi juga dari sejarah.

Mereka sudah dibungkam. Tapi kita masih punya suara.
Dan selama masih ada yang bercerita, laut itu tak akan pernah benar-benar diam.

Sabtu, 24 Mei 2025

"Biru Laut": Bab I dari Laut Bercerita

 



Biru Laut – Nama, Lautan, dan Sebuah Perlawanan

Setelah prolog yang penuh luka dan gelap, kita diajak kembali ke masa yang lebih awal. Masa ketika semuanya belum sekelam itu. Saat Laut—atau Biru Laut—masih bisa tertawa bersama kawan-kawannya, membangun mimpi, menyusun strategi, dan percaya bahwa perubahan itu mungkin. Di sinilah kisahnya benar-benar dimulai.

Nama Biru Laut bukan cuma indah, tapi juga penuh makna. Ia adalah anak muda biasa yang berubah jadi simbol. Di bagian ini, kita diajak mengenal siapa dia sebenarnya: teman, anak, saudara, sekaligus aktivis. Kita akan lihat bagaimana idealisme tumbuh dari obrolan kecil di warung makan, dari diskusi di rumah reyot yang dijuluki “rumah hantu”, dan dari cinta yang diam-diam menyala di sela perlawanan.

Yuk Sahabatt, kita mulai bab Biru Laut. Karena dari sinilah cerita itu benar-benar mulai bergejolak.

"Di Antara Gelap dan Kelam" : Refleksi dari Prolog Laut Bercerita



"Matilah engkau mati. Kau akan lahir berkali-kali..."

Ehh Halloo Sahabatt balik lagii nihh hihiii...

Aku harap kalian semua dalam keadaan baik, tenang, dan waras di tengah riuhnya hidup yang kadang nggak kasih jeda. Di tulisan kali ini, gue pengen ngobrolin sesuatu yang mungkin agak berat, tapi sebenarnya deket banget sama hidup kita: tentang gelap, tentang jatuh, tentang harapan yang tipis-tipis tapi masih nyala. Aku baru aja selesai baca (lagi) "Laut Bercerita" karya Leila S. Chudori, dan prolognya tuh... nggak tau kenapa, dalem banget. Jadi, yuk duduk sebentar, ambil napas, dan mari kita selami bareng-bareng sedikit bagian dari novel itu—siapa tau, ada yang nyentuh hati kalian juga.

Ada satu bagian dari prolog Laut Bercerita yang sampai sekarang masih terngiang-ngiang di kepala gue:

"Matilah engkau mati. Kau akan lahir berkali-kali..."

Jumat, 23 Mei 2025

"Kamu Tak Harus Sempurna"



"Kamu Tak Harus Sempurna" karya Anastasia Satriyo

Ehh Hallo Sahabatt jauhh hihihii... pada cuitan Perdana ini aku pengen ngebahas salah satu buku eh lebih tepatnya Novel karya dari Anastasia Satriyo yang berjudul "Kamu Tak Harus Sempurna".

Nah, setelah ngulik-ngulik, ada satu bagian yang menurutku paling ngena. Di situ dibahas soal gimana kita sering banget ngerasa harus jadi sempurna, terus kejebak sama ekspektasi yang nggak realistis, baik dari orang lain atau bahkan dari diri sendiri. Gaya nulisnya enak banget, ringan, nggak ngotot, tapi dalem. Cocok banget buat yang lagi ngerasa capek mental atau lagi ngerasa “gue harus apa sih biar cukup?

"Kita Gak Bisa Lagi Cuma Diam: Kekerasan Seksual di Pesantren Bukan Tabu untuk Dibahas"

  "Kita Gak Bisa Lagi Cuma Diam: Kekerasan Seksual di Pesantren Bukan Tabu untuk Dibahas" Haloo Sahabatt...Akhir-akhir ini ramai ...